Model Implementasi kebijakan George Edward III
Pendekatan yang digunakan dalam menganalisis implementasi kebijakan tentang konservasi energi adalah teori yang dikemukakan oleh George C. Edwards III. Dimana implementasi dapat dimulai dari kondisi abstrak dan sebuah pertanyaan tentang apakah syarat agar implementasi kebijakan dapat berhasil, menurut George C. Edwards III ada empat variabel dalam kebijakan publik yaitu Komunikasi (Communications), Sumber Daya (resources), sikap (dispositions atau attitudes) dan struktur birokrasi (bureucratic structure)
Ke empat faktor di atas harus dilaksanakan secara simultan karena antara satu dengan yang lainnya memiliki hubungan yang erat. Tujuan kita adalah meningkatkan pemahaman tentang implementasi kebijakan. Penyederhanaan pengertian dengan cara membreakdown (diturunkan) melalui eksplanasi implementasi kedalam komponen prinsip. Implementasi kebijakan adalah suatu proses dinamik yang mana meliputi interaksi banyak faktor. Sub kategori dari faktor-faktor mendasar ditampilkan sehingga dapat diketahui pengaruhnya terhadap implementasi.

Faktor –faktor yang berpengaruh dalam implementasi menurut George C. Edwards III sebagai berikut :
a. Komunikasi

Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga implementors mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu. Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya. Di samping itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereka dapat melakukannya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenahi maksud dan tujuan kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para implementor secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan.

b. Sumber daya

Tidak menjadi masalah bagaimana jelas dan konsisten implementasi program dan bagaimana akuratnya komunikasi dikirim. Jika personel yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program kekurangan sumberdaya dalam melakukan tugasnya. Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa program dapat diarahkan kepada sebagaimana yamg diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana.

Sumberdaya manusia yang tidak memadahi (jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang harus dilakukan meningkatkan skill/kemampuan para pelaksana untuk melakukan program. Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja program. Ketidakmampuan pelaksana program ini disebabkan karena kebijakan konservasi energi merupakan hal yang baru bagi mereka dimana dalam melaksanakan program ini membutuhkan kemampuan yang khusus, paling tidak mereka harus menguasai teknik-teknik kelistrikan.

Informasi merupakan sumberdaya penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenahi bagaimana cara menyelesaikan kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepetuhan kepada peraturan pemerintah dan undang-undang. Kenyataan dilapangan bahwa tingkat pusat tidak tahu kebutuhan yang diperlukan para pelaksana dilapangan. Kekurangan informasi/pengetahuan bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien. Implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi dan individu terhadap peraturan pemerintah yang ada.

Sumberdaya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk menentukan bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/mengatur keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf, maupun pengadaan supervisor.

Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program harus terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.

c. Disposisi atau Sikap

Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah.
Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan ; kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi program. Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran program.
Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah Menempatkan kebijakan menjadi prioritas program, penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi yang lain. Disamping itu penyediaan dana yang cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana program agar mereka mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan kebijakan/program.

d. Struktur Birokrasi

Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan. Van Horn dan Van Meter menunjukkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam implementasi kebijakan, yaitu:
1. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan;
2. Tingkat pengawasan hirarkhis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan proses-proses dalam badan pelaksana;
3. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara anggota legislatif dan eksekutif);
4. Vitalitas suatu organisasi;
5. Tingkat komunikasi “terbuka”, yaitu jaringan kerja komunikasi horizontal maupun vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar organisasi;
6. Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan pembuat keputusan atau pelaksana keputusan.
Bila sumberdaya cukup untuk melaksanakan suatu kebijakan dan para implementor mengetahui apa yang harus dilakukan , implementasi masih gagal apabila struktur birokrasi yang ada menghalangi koordinasi yang diperlukan dalam melaksanakan kebijakan. Kebijakan yang komplek membutuhkan kerjasama banyak orang, serta pemborosan sumberdaya akan mempengaruhi hasil implementasi. Perubahan yang dilakukan tentunya akan mempengaruhi individu dan secara umum akan mempengaruhi sistem dalam birokrasi.
CONTOH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SESUAI MODEL EDWARD III
kebijakan:
Jaminan Kesehatan Masyarakat ( JAMKESMAS )
A. KOMUNIKASI
Dalam teori Edward III ini,komunikasi yang dijalankan dalam kebijakan JAMKESMAS diawali dengan jalan menampung aspirasi masyarakat yaitu menuntut adanya jaminan kesehatan khususnya kepada masyarakat miskin. Hal ini dikarenakan banyaknya masyarakat miskin yang tidak bisa berobat dirumah sakit.
Setelah melakukan pengambilan kebijakan selanjutnya JAMKESMAS disosialisasikan kepada manyarakat. Selain kepada mansyarakat juga kepada instansi kesehatan.
namun dalam kenyataannya dimasyarakat, rakyat miskin banyak yang kurang mengetehui bagaimana memperoleh kartu JAMKESMAS dan bagaimana prosedur penggunaannya. Selain itu, mereka beranggapan bahwa apa bila menggunakan JAMKESMAS maka pelayanan yang diberikan tidak memadai dan kurang dipedulikan.

B. SUMBER DAYA

setelah melakukan pengambilan kebijakan, maka pelaksanaannya diserahkan kepada instansi kesehatan. Mulai dari rumah sakit pusat, rumah sakit daerah, puskesmas, dll.selain itu pula, orang-orang yang bekerja di pemerintahan harus diberi pelatihan dan frofesionalisme. Selain itu pegawai dituntut untuk lebih sopan dan membantu masyarakat dalam penggunaan kartu JAMKESMAS.

Sumber daya yang dimiliki dinas kesehatan saat ini sangat kurang memadai, kebanyakan hanya ingin bekerja dikota-kota dan tidak mau ditempatkan didaerah terpencil. Selain itu orang-orang kesehatan yang lolos seleksi harus menjadi pegawai harus yang frofesional.

C. DISPOSISI ATAU SIKAP
Setelah melakukan penyerahan wewenang kepada instansi kesehatan, selanjutnnya yang paling menentukan adalah sikap pegawai kesehatan dalam melayani pemilik kartu JAMKESMAS dan bagaimana antusias masyarakat dalam menggunakan JAMKESMAS tersebut.
Namun disposisi atau sikap pegawai kesehatanyang kurang sopan dan kurang meperhatikan pengguna JAMKESMAS ini jusru membuat manyarakat miskin takut menggunakan JAMKESMASnya.
Oleh karenanya pemerintah perlu memperhatian aspek moral pegawai kesehatan, bukan hanya pada potensi akademiknya.

D. STRUKTUR BIROKRASI

Selain dari ketiga hal sebelumnya, maka struktur birokrasi juga sangat menentukan efektifnya pelaksanaan kebijakan KAMKESMAS tersebut. Hal ini karena dalam pelaksanaannya sangat membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah (BIROKRAT terkait).
Selain itu sangat perlu adanya pengawasan yang ketat terhadap instansi yang di amanahkan untuk menjalankan kebijakan tersebut. Salah satu yang harus dilakukan adalah membuat peraturan yang jelas tentang pelaksanaan kebijakan KAMKESMAS.
Pengawasan yang ada saat ini masih perlu ditingkatkan karena masih ada rumah sakit yna kurang melayani JAMKESMAS. Selain itu masih banyak oknum dikesehatan yang tidak mau melayani JAMKESMAS.